DEMOKRASI NEGARA MENUJU POLITIK PERPAJAKAN
Formula Mencari Keadilan Politik
Studi khusus tetang perpajakan hingga kini belum banyak dilakukan oleh ilmuwan ekonomi politik, apalagi dalam konteks politik yang mengalami perubahan dan reduksi makna-makna politik. Foalam konteks politik ang mengalami perubahan dan reduksi makna-makna politik. Formula yang diarahkan cukup menarik untuk dikonstuksi dalam rangka menghadirkan suaru system eknomi perpajakan yang mencermikan nilai-nilai keadilan dan demokrasi. Pajak secara ekonomi dipahami sebagai bagian dari beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor public, dan secara yuridis dipahami sekedar sebagai bagian dimana rakyat yang memiliki kewajiban membayar pajak. Hingga kini pajak merupakan bagian integral dari system politik bangsa yang bermakna dan berdimensi politik, artinya pajak dapat dimaknai sebagai investasi politik seorang warga negara. Gebrakan politik perpajakan dan demokrasi perpajakan dibuat oleh negara untuk menjawab protes dan tuntutan daerah, dimana hubungan keuangan pusat dan daerah diatur secara lebih jelas menurut kaedah hukum yang disepakati secara politik. UU No. 25 tahun 1999 diperbaiki dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, merupakan titik balik dari usaha untuk mendorong politik negara yang berpihak kepada kepentingan public yang luas terutama kepentingan daerah-daerah yang selama ini terabaikan oleh kuatnya egemoni negara atas rakyat.
Formulasi yang dipergunakan dalam revenue sharing adalah ditetapkannya prosentase pembagian ketentuan, Pusat 80% dan Daerah 20% atas penerimaan pajak penghasilan Orang Pribadi dalam negeri dan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21).
Kebijakan Desentralisasi fiscal dipekatkan akan memunculkan harapan baru bagi lahirnya suatu keseimbangan social politik dalam konteks hubungan antara negara dengan politik. Dalam pandangan klasik, pajak diadakan untuk memberikan keserasian social dalam perspektif sejarah.
1. Masa pemerintahan Hindia-Belanda (Reglement Wet)
Kostitusi negara ditandai dengan prouincie, regentschap dan stadsgemeenie di pulau jawa dan Madura dan group-group wilayah untuk luar jawa, dan mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan dalam memungut pajak.
2. Masa Orde baru
Kebijakan desentralisasi diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974 penggati UU No. 22 tahun 1948 tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati. Padahal prinsip dari UU No. 5 tahun 1974 adalah otonomi nyata dan bertanggung jawab, artinya adanya pembagian kewenangan dari pusat kepada daerah (pemerintahan lebih rendah) yang memadai.
Kegagalan dalam pengimplementasian otonomi daerah yang tidak konsisten, karena terlalu percaya diri pada trilogy pembangunan dan tidak ada evaluasi yang jujur, dan terjadi banyak ketimpangan sebagai barikut:
1. Ketimpangan pendapatan yang besar baik secara vertical maupun antar daerah yang besar
2. Ketimpangan investasi antar daerah yang besar
3. Pemusatan ndustri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat.
4. Pendapatan daerah dikuasi pusat
5. Melebarnya kesenjangan regional akibat adanya ketimpangan alokasi kredit
Ketimpangan tersebut dapat memicu pemberontakan rakyat, untuk mengatisipasi agar tidak meluas harus mampu mengeliminir terjadinya ketimpangan yang ada melalui penyerahan kekuasaan dari penguasa kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Kegagalan keseimbangan pusat dan darah dalam pendekatan setralisasi kebijakan terbukti munculnya kesenjangan yang sangat tajam, sihingga memutuskan memberakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Adapun sumber penerimaan daerah yang berasal dari transfer pusat adalah sebagai berikut :
1. Pajak bumi dan bangunan, Pusat 10%, Propinsi 16,2%, kabupaten/kota 64,8%
2. BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pusat 20%, Propinsi 16%, Kabupaten/Kota 64%
3. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Pusat 20%, Propinsi 16%, Kabupaten/Kota 64%
4. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pusat 20%, Propinsi 16%, Kabupaten/Kota 64%
5. Penerimaan Iuran Tetap (PIT), Pusat 20%, Propinsi 16%, Kabupaten/Kota 64%
6. Royalti sektor pertambangan (ekplorasi dan eksploitasi), Pusat 20%, Propinsi 16%, Kabupaten/Kota 64%
7. Penerimaan pungutan pengusahaan periklanan (P3 Periklanan), Pusat 20%, Propinsi 0%, Kabupaten/Kota 80%
8. Penerimaan pungutan hasil perikanan (P2H Perikanan), Pusat 20%, Propinsi 0%, Kabupaten/Kota 80%
9. Penerimaan Minyak, Pusat 85%, Propinsi 3%, Kabupaten/Kota 12%
10. Penerimaan Gas Alam, Pusat 70%, Propinsi 6%, Kabupaten/Kota 24%
11. Pajak Penghasil Orang Pribadi Dalam Ngeri dan Pajak Penghasilan Karyawan, Pusat 80%, Propinsi 8%, Kabupaten/Kota 12%
Penjelasannya :
- Kelompok Bagi Hasil Bukan Pajak atau Sumber Daya Alam (IHPH, PSDH, PIT, Royalti, P3 Perikanan, P2H Perikanan, dan Penerimaan Minyak dan Gas Alam, Daerah 80% Kecuali Penerimaan Minyak 15% dan Penerimaan Gas Alam 30%
- Kelompok Bagi Hasil Pajak terdiri dari PBB daerah 90%, BPHTB 80%, PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Karyawan daerah 20%.
Faktor yang mempengaruhi kebijakan tidak dilaksanakannya pemberian taxing power yang lebih besar adalah sebagai beriukut :
1. Menafsirkan kebijakan fiscal menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat, termasuk perpajakan pemerintah daerah dipahami sebagai pihak yang menjalankan tugas-tugas pelayanan publik,
2. Rakyat mebayar pajak baru dipahami konsekuensi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah menganggap dengan kewenangan dapat memaksakan rakyat membayar pajak dan rakyat tidak perlu tahu bagaimana uang pajak dikelola oleh pemerintah.
Berdasarkan kedua factor tersebut maka sentralisasi kebijaka perpajakan tidak dapat terelakkan yang meliputi Tarif, Obyek dan Jenis Pajak. Padahal kebijakan ini sudah tidak relevan dengan pelaksanaan otonomi daerah.Penilaian Tim Kajian Departemen Dalam egeri menunjukkan, sekitar 7000 Perda dinilai bermasalah dan tidak layak untuk diterapkan.Administrasi perpajakan, meliputi SDM, Struktur Organisasi dan Sisdur (Sistem dan Prosedur) serta Anggaran tidak hanya menyulitkan bagi fiskus sebagai pengumpul pajak akan tetapi memberatkan bagi pembayar pajak karena birokrasi masih panjang dan mahal. Desentralisasi adminstrasi perpajakan jenis pajak yang obyeknya tetap dan tidak dapat dipindahkan (PBB dan BPHTB) masih menginduk kepada Departemen Keuangan, sehingga penggunaan anggaran harus sesuaidengan UU APBDN untuk memudahkan pengawasan oleh atasan atau lebaga pengawas lainnya, namun menyulitkan pembayar pajak melakukan control social terhadap penggunaan uang pajak.Kebijakan bagi hasil pajak menjadi solusi permasalahan keuangan daerah agar dapat mengeimintir terjadinya vertical imbalance dan horizontal imbalance ternyata mengalami kegagalan.